Londok Story


                   Dia baik, penuh semangat, tegar, ceria, dan sangat tabah. Meski terkadang menyebalkan, tapi dia akan selalu jadi teman sekaligus sahabat terbaikku. Ya, dialah Fildzah Nurul Fauziyyah, gadis kecil paling tegar yang pernah kutemui. Sikapnya yang riang dan ceria hanyalah tipuan semata untuk menutupi segudang masalah yang silih berganti datang menghampirinya.
                        Hingga pada suatu ketika, setelah kami selesai melaksanakan shalat ashar, dia tiba-tiba saja terdiam meneteskan air matanya dihadapanku. Ku tanyakan padanya dengan nada rendah dan berusaha untuk menenangkannya. “kenapa?” tapi dia tetap diam membisu tanpa mengeluarkan satu katapun dari mulutnya. Dia hanya tersenyum kecil sambil terus meneteskan air matanya. Senyuman itu yang membuatku bingung dan semakin bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi padanya? Lalu kutanyakan lagi padanya dengan nada yang sama sambil terus menenangkannya “kenapa? Apa yang terjadi? Mengapa kamu menangis?” tetapi dia tetap saja diam membisu sambil terus meneteskan air matanya. Bahkan air matanya pun semakin deras bagaikan rintikan hujan yang turun kebumi. Dan untuk ketiga kalinya ku bertanya padanya “apa yang terjadi? Mengapa kamu menangis? Apa aku sudah melakukan sebuah kesalahan?” diapun terdiam seketika dan mulai menceritakan semuanya.
                        Dia berkata padaku bahwa selama ini dia mengidap penyakit skoliosis. Penyakit tulang yang memang sulit untuk disembuhkan. Bahkan hanya ada satu cara untuk mengobatinya yaitu dengan operasi. Kaget memang mendengar semua itu, sosok selama ini yang ku kira tegar dan penuh keceriaan ternyata adalah sosok yang sangat rapuh.
                        Sambil terus menangis dia terus menceritakan semua permasalahannya. Masalah yang cukup rumit dan mungkin tidak semua orang   bisa melewati dan menghadapinya. Dan tanpa kusadari akupun mulai meneteskan air mataku. Aku merasa bahwa aku turut merasakan apa yang dia rasakan. Dia terdiam dan mulai menghapus air matanya “kok kamu nangis? Cengeng ih….” Ucapnya padaku dengan nada ceria cirri khas dirinya. Tapi aku tetap saja menangis sambil tertawa kecil mendengar suara riangnya. Aku sungguh tak bisa berkata apa-apa. Rasa empati ku yang terlalu besar, membuat aku ikut terjun masuk kedalam permasalahannya. Dia pun berhenti menangis dan mulai melanjutkan ceritanya. Dia berkata “aku takut… sangat takut… aku takut penyakit ini akan mengambil semua yang kupunya, aku takut dia mengambil kehidupanku, aku takut dia mengambil nyawaku. Aku belum siap meninggalkan semua ini, aku belum membahagiakan kedua orangtuaku, aku belum mewujudkan segala impian dan cita-citaku, dan aku belum menjadi orang yang berguna bagi dunia. “ perkataan itu semakin membuatku menangis tersedu-sedu. Lalu ku tanyakan padanya “ lantas mengapa kamu tidak operasi? “. Diapun meneteskan air matanya lagi dan menjawab “ kendala biaya operasi yang menghambat semuanya, apalagi jika aku operasi sekolahku pasti akan terganggu. Aku ingin focus kesekolahku dulu tanpa mau memikirkan kesehatanku.” “tapi kesehatanmu juga sangat penting!!” ujarku dengan nada tinggi. “tapi sekolahku adalah masa depanku!” jawabnya padaku.
                        Aku pun tersenyum kecil dan mulai menenangkannya. Aku hanya bisa mensuport dan berupaya untuk menjadi pendengar yang baik. Ku katakana padanya bahwa jangan sampai masalah ini membuatmu putus asa dan membuatmu patah semangat.  Diapun tersenyum sambil berkata “tenang saja kawan, aku tahu Tuhan sedang menguji keimananku”. “ Aku takkan pernah putus asa, karena ku tahu dan ku yakin semua ini akan berakhir bahagia. Karena ku yakin badai pasti berlalu dan semua akan indah pada waktunya”. Kata-kata ini membuatku semakin kagum padanya. Dalam posisi seperti ini dia masih tetap tegar, tetap berdiri tegak dengan semangatnya. Tetap berkibar dengan semangatnya, dan tetap bisa membuat orang disekelilinya tertawa. Karena tingkah lakunya, walau tak ada seorangpun yang tahu bahwa hatinya sangat rapuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar