Bisakah Kau Bayangkan Rasanya Jadi Aku?

Oleh : dwitasari

Kamu pernah menjadi bagian hari-
hariku. Setiap malam, sebelum tidur,
kuhabiskan beberapa menit untuk
membaca pesan singkatmu. Tawa
kecilmu, kecupan berbentuk tulisan,
dan canda kita selalu membuatku
tersenyum diam-diam. Perasaan ini
sangat dalam, sehingga aku memilih
untuk memendam.
Jatuh cinta terjadi karena proses yang
cukup panjang, itulah proses yang
seharusnya aku lewati secara alamiah
dan manusiawi. Proses yang panjang
itu ternyata tak terjadi, pertama kali
melihatmu; aku tahu suatu saat nanti
kita bisa berada di status yang lebih
spesial. Aku terlalu penasaran ketika
mengetahui kehadiranmu mulai
mengisi kekosongan hatiku.
Kebahagiaanku mulai hadir ketika
kamu menyapaku lebih dulu dalam
pesan singkat. Semua begitu
bahagia.... dulu.
Aku sudah berharap lebih.
Kugantungkan harapanku padamu.
Kuberikan sepenuhnya perhatianku
untukmu. Sayangnya, semua hal itu
seakan tak kaugubris. Kamu di
sampingku, tapi getaran yang
kuciptakan seakan tak benar-benar
kaurasakan. Kamu berada di dekatku,
namun segala perhatianku seperti
menguap tak berbekas. Apakah kamu
benar tidak memikirkan aku?
Bukankah kata teman-temanmu, kamu
adalah perenung yang seringkali
menangis ketika memikirkan sesuatu
yang begitu dalam? Temanmu bilang,
kamu melankolis, senang memendam,
dan enggan bertindak banyak. Kamu
lebih senang menunggu. Benarkah
kamu memang menunggu? Apalagi
yang kautunggu jika kausudah tahu
bahwa aku mencintaimu?
Tuan, tak mungkin kautak tahu ada
perasaan aneh di dadaku. Kekasihku
yang belum sempat kumiliki, tak
mungkin kautak memahami
perjuangan yang kulakukan untukmu.
Kamu ingin tahu rasanya seperti aku?
Dari awal, ketika kita pertama kali
berkenalan, aku hanya ingin
melihatmu bahagia. Senyummu adalah
salah satu keteduhan yang paling
ingin kulihat setiap hari. Dulu, aku
berharap bisa menjadi salah satu
sebab kautersenyum setiap hari, tapi
ternyata harapku terlalu tinggi.
Semua telah berakhir. Tanpa ucapan
pisah. Tanpa lambaian tangan. Tanpa
kaujujur mengenai perasaanmu.
Perjuanganku terhenti karena aku
merasa tak pantas lagi berada di
sisimu. Sudah ada seseorang yang
baru, yang nampaknya jauh lebih baik
dan sempurna daripada aku. Tentu
saja, jika dia tak sempurna—kautak
akan memilih dia menjadi satu-
satunya bagimu.
Setelah tahu semua itu, apakah kamu
pernah menilik sedikit saja
perasaanku? Ini semua terasa aneh
bagiku. Kita yang dulu sempat dekat,
walaupun tak punya status apa-apa,
meskipun berada dalam
ketidakjelasan, tiba-tiba menjauh
tanpa sebab. Aku yang terbiasa
dengan sapaanmu di pesan singkat
harus (terpaksa) ikhlas karena
akhirnya kamu sibuk dengan
kekasihmu. Aku berusaha memahami
itu. Setiap hari. Setiap waktu. Aku
berusaha meyakini diriku bahwa
semua sudah berakhir dan aku tak
boleh lagi berharap terlalu jauh.
Tuan, jika aku bisa langsung meminta
pada Tuhan, aku tak ingin perkenalan
kita terjadi. Aku tak ingin mendengar
suaramu ketika menyebutkan nama.
Aku tak ingin membaca pesan
singkatmu yang lugu tapi manis.
Sungguh, aku tak ingin segala hal
manis itu terjadi jika pada akhirnya
kamu menghempaskan aku sekeji ini.
Kalau kauingin tahu bagaimana
perasaanku, seluruh kosakata dalam
miliyaran bahasa tak mampu
mendeskripsikan. Perasaan bukanlah
susunan kata dan kalimat yang bisa
dijelaskan dengan definisi dan arti.
Perasaan adalah ruang paling dalam
yang tak bisa tersentuh hanya dengan
perkatan dan bualan. Aku lelah. Itulah
perasaanku. Sudahkah kaupaham?
Belum. Tentu saja. Apa pedulimu
padaku? Aku tak pernah ada dalam
matamu, aku selalu tak punya tempat
dalam hatimu.
Setiap hari, setiap waktu, setiap aku
melihatmu dengannya; aku selalu
berusaha menganggap semua baik-
baik saja. Semua akan berakhir
seiring berjalannya waktu. Aku
membayangkan perasaanku yang
suatu saat nanti pasti akan hilang, aku
memimpikan lukaku akan segera
kering, dan tak ada lagi hal-hal
penyebab aku menangis setiap
malam. Namun.... sampai kapan aku
harus terus mencoba?
Sementara ini saja, aku tak kuat
melihatmu menggenggam jemarinya.
Sulit bagiku menerima kenyataan
bahwa kamu yang begitu kucintai
ternyata malah memilih pergi bersama
yang lain. Tak mudah meyakinkan
diriku sendiri untuk segera
melupakanmu kemudian mencari
pengganti.
Seandainya kamu bisa membaca
perasaanku dan kamu bisa
mengetahui isi otakku, mungkin
hatimu yang beku akan segera
mencair. Aku tak tahu apa salahku
sehingga kita yang baru saja kenal,
baru saja mencicipi cinta, tiba-tiba
terhempas dari dunia mimpi ke dunia
nyata. Tak penasarankah kamu pada
nasib yang membiarkan kita
kedinginan seorang diri tanpa teman
dan kekasih?
Aku menulis ini ketika mataku tak kuat
lagi menangis. Aku menulis ini ketika
mulutku tak mampu lagi berkeluh. Aku
mengingatmu sebagai sosok yang
pernah hadir, meskipun tak pernah
benar-benar tinggal. Seandainya
kautahu perasaanku dan bisa
membaca keajaiban dalam
perjuanganku, mungkin kamu akan
berbalik arah—memilihku sebagai
tujuan. Tapi, aku hanya persinggahan,
tempatmu meletakan segala
kecemasan, lalu pergi tanpa janji
untuk pulang.
Semoga kautahu, aku berjuang, setiap
hari untuk melupakanmu. Aku
memaksa diriku agar membencimu,
setiap hari, ketika kulihat kamu
bersama kekasih barumu. Aku
berusaha keras, setiap hari, menerima
kenyataan yang begitu kelam.
Bisakah kaubayangkan rasanya jadi
orang yang setiap hari terluka, hanya
karena ia tak tahu bagaimana
perasaan orang yang mencintainya?
Bisakah kaubayangkan rasanya jadi
aku yang setiap hari harus melihatmu
dengannya?
Bisakah kaubayangkan rasanya jadi
seseorang yang setiap hari menahan
tangisnya agar tetap terlihat baik-baik
saja?
Kamu tak bisa. Tentu saja. Kamu tidak
perasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar