MENAWAR MIMPI

Rantai pongah itu sedang mengumandangkan nyanyian srigala liar malam hari
gaungnya tinggi setinggi langit, mensiasati arti yang sesungguhnya.
Artian merah tak selalu berani menantang sombongnya putaran dunia.
Siapa yang takluk di kaki bumi torehan luka jejak-jejak pasti?
Meniup-niup bara seolah takut padam di bakar hangus api menjadi debu dan terbangkan serpihan ke penjuru ujung buntu dunia sepi.
Nyanyian itu tak lagi hanyutkan pesona nada biru muda.
Patah ditengah membuat lengkungan serat tak lagi sama.
Semua menjadi kaku tak terpijak meski masih satu.
Kesombongan mati di lecut kuasa hati, meneriakkan gelegar tak makna diatas keinginan jiwa.
Hanya pengecut yang takut menghadapi hidup, takut hanya karena tak merasa pantas takdir yang ada.
Sejuk sapaan lembut angin timur, membelai-belai merayu memabukkan arah tujuan.
 Gelombang panasnya meracuni sudut-sudut hati butakan mata.

Bebaskan dahaga tak juga berarti pantas untuk menetap, hanya singgah mengeluarkan endapan lumpur
kemarau.
Selalu hitam waktu itu.
Terus saja sulut sampai terbakar, nanti kulit akan merasa tersadar.
Walau pudar dan samar terpendar menanar di tikar serambi ular.
Tunggu , tunggu saja harap itu menular, lalu tukar dengar Asharmu.
Sujud maaf mungkin hambar untuk jiwa yang mati terkapar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar